Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

E-library (pengantar telematika)

PENGANTAR TELEMATIKA
Kelompok : Dian Oktaviani R (10108575)
Emy Indriyani
Zia Chalieda


E-Library


A. Pengertian E-library
________________________________________

Ditengah perkembangan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, perpustakaan sekolah perlu melakukan terobosan baru guna meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kepada penggunanya. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan menerapkan e-liberary.
E-liberary atau perpustakaan elektronik yang merupakan penyimpanan informasi, dokumen, audiovisual, dan materi grafis yang tersimpan dalam berbagai jenis media, misalnya buku cetak, majalah, laporan dan poster hingga ke mikrofis, slide, film, video, compact disc, audio tapes, optical disc, pita magnetis, disket atau floppy disc, serta media lain yang tengah dikembangkan. E-liberary merupakan salah satu bentuk kemajuan di bidang teknologi informasi. Definisi teknologi informasi itu sendiri adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan, menghasilkan, mengolah serta menyebarkan informasi. Perpustakaan elektronik juga merupakan bagian sebuah jaringan kerja (network). Dimana secara teoritispemakai dapat memperoleh salinanelektronik sebuah dokumen darimanapun, asal tidak ada kendala keamanan, politik, ekonomi, dan social. Beberapa perpustakaan sekolah telah memulai langkah keperpustakaan elektronik, ada pula perpustakaan yang telah mengkomputerkan system temu balik serta system jasanya. Hanya saja mengingat teknologi informasi tidak hanya terbatas pada perangkat keras (alat) dan perangkat lunak (program), tetapi juga mengikut sertakan manusia serta tujuan yang ditentukan maka pengguna teknologi informasi terutama e-liberary sebagai pilihan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah, perlu memperhatikan beberapa aspek diantaranya aturan dan kemampuan sekolah yang bersangkutan e-liberary mulai berkembang pesat sejak tahun 1990 diiringi dengan kemajuan teknologi jaringan computer yang memungkinkan pengaksesan informasi dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat.
Dimulai dengan terselenggarakannya “workshop on digital libraries” pada tahun 1994 di Amerika. E-liberary atau perpustakaan digital adalah suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan computer. Istilah e-liberary sendiri mengandung pengertian sama dengan virtuallibrary. Sedangkan istilah yang sering digunakan dewasa ini adalah digitallibrary, hal ini bisa kita lihat dengan seiring munculnya istilah tersebut dalam workshop, symposium, atau konfrensi dengan memakai nama tersebut.
Digital Library Federation di Amerika Serikat memberikan definisi perpustakaan digital sebagai organisasi-organisasi yang menyediakan sumber-sumber, termasuk staff dengan keahlian khusus, untuk menyeleksi, menyusun, menginterpretasi, memberikan akses intelektual, mendistribusikan, melestarikan, dan menjamin keberadaan koleksi karya-karya digital sepanjang waktu sehingga koleksi tersebut dapat digunakan oleh komunitas masyarakat tertentu atau masyarakat terpilih, secara ekonomis dan mudah.
Berdasarkan International Conference of Digital Library 2004,konsep Perpustakaan digital adalah sebagai perpustakaan elektronik yang informasinya didapat, disimpan, dan diperoleh kembali melalui format digital. Perpustakaan digital merupakan kelompok workstations yang saling berkaitan dan terhubung dengan jaringan (networks) berkecepatan tinggi. Pustakawan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mendapat, menyimpan, memformat, menelusur atau mendapatkan kembali, dan mereproduksi informasi nonteks. Sistem informasi modern kini dapat menyajikan informasi secara elektronik dan memanipulasi secara otomatis dalam kecepatan tinggi.



B. Sejarah Pengembangan Perpustakaan Digital
________________________________________

Gagasan yang muncul pertama kali sebagai dasar konsep perpustakaan digital muncul pada bulan Juli tahun 1945 oleh Vannevar Bush. Beliau mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman/dokumentasi, dan komunikasi) yang termekanisasi.
Selama dekade 1950-an dan 1960-an keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan terus diusahakan oleh peneliti, pustakawan, dan pihak-pihak lain, tetapi teknologi yang ada belum cukup menunjang.
Pada awal 1980-an fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi melalui perangkat komputer, namun hanya pada lembaga-lembaga besar mengingat biaya investasi yang tinggi. Misalnya pada Library of Congress di Amerika yang telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan.Dari sudut pandang pengguna, komputer bukanlah bagian dari fasilitas manajemen perpustakaan melainkan hanya pelayanan untuk digunakan staf perpustakaan.
Pada awal 1990-an hampir seluruh fungsi perpustakaan ditunjang dengan otomasi dalam jumlah dan cara tertentu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain pembuatan katalog, sirkulasi, peminjaman antar perpustakaan, pengelolaan jurnal, penambahan koleksi, kontrol keuangan, manajemen koleksi yang sudah ada, dan data pengguna. Dalam periode ini komunikasi data secara elektronik dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya semakin berkembang dengan cepat. Pada tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan National Digital Library dengan menggunakan tampilan dokumen elektronik, penyimpanan dan penelusuran teks secara elektronik, dan teknologi lainnya terhadap koleksi cetak dan non-cetak tertentu. Selanjutnya pada September 1995, enam universitas di Amerika diberi dana untuk melakukan proyek penelitian perpustakaan digital. Penelitian yang didanai NSF/ARPA/NASA ini melibatkan peneliti dari berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, dan pemerintah Amerika sendiri. Proyek ini cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian perpustakaan digital di dunia.
• Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Perpustakaan
Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang sangat penting kedudukannya dalam dunia informasi dan pendidikan harus dapat menjawab tantangan di era informasi ini. Tantangan tersebut adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat, dan global.
Untuk menjawab tantangan tersebut, perpustakaan pun melakukan perubahan-perubahan. Perubahan pertama yang dilakukan adalah mekanisasi. Mekanisasi pertama dilakukan dalam sistem administrasi khususnya katalog. Namun katalog ini bukanlah katalog yang kita kenal sebagai OPAC (Online Public Access Catalogue). Katalog ini hanya berupa daftar koleksi dan sumber perpustakaan tanpa terhubung dengan catatan peminjaman atau sumber eksternal.
Perubahan selanjutnya adalah mengintegrasikan fungsi komputer lebih jauh. Komputer selain berfungsi sebagai katalog elektronik, juga berfungsi untuk menampilkan perkembangan aktivitas peminjaman sehingga pustakawan dapat mengamati aktivitas peminjam secara detail guna memenuhi kebutuhan pengguna.
Kemudian perpustakaan mengadopsi otomasi yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan teknologi komputer dan network pada masa 1980-an hingga 1990-an. Selain otomasi perpustakaan internal, teknologi komputer juga digunakan untuk komunikasi antar perpustakaan secara terbatas karena faktor biaya.
Perkembangan selanjutnya adalah penggunaan Electronic Data Interchange (EDI). EDI adalah pertukaran informasi bisnis antar komputer yang menggunakan format standar tertentu. Penggunaan EDI pada perpustakaan sama banyaknya dengan penggunaan EDI dalam dunia bisnis. EDI memungkinkan untuk berbagi data secara lebih luas dalam bentuk peminjaman antar perpustakaan, surat elektronik, pemesanan pinjaman secara elektronik, dan penyajian dokumen secara elektronik.
Tidak ada satu perpustakaan pun yang menyimpan seluruh informasi/terbitan, tapi pustakawan tetap harus berperan dalam menyediakan akses demi mendapat informasi yang lengkap. Salah satu caranya adalah dengan peminjaman antar perpustakaan. Dan sekarang ini lebih banyak perpustakaan yang melakukan kerjasama melalui jalur elektronik untuk mendapat keuntungan bersama. Konsep perpustakaan pun berubah dari user oriented menjadi user satisfaction oriented, kecenderungan untuk memberikan kepuasan pengguna lebih diutamakan.
• Motif-motif yang Mendasari Pengembangan Perpustakaan Digital

1. Pada perpustakaan konvensional, akses terhadap dokumen terbatas pada kedekatan fisik. Pengguna harus datang untuk mendapat dokumen yang diinginkan, atau melalui jasa pos. Untuk mengatasi keterbatasan ini perpustakaan digital diharap mampu untuk menyediakan akses cepat terhadap katalog dan bibliografi serta isi buku, jurnal, dan koleksi perpustakan lainnya secara lengkap.
2. Melalui komponen manajemen database, penyimpanan teks, sistem telusur, dan tampilan dokumen elektronik, sistem perpustakaan digital diharap mampu mencari database koleksi yang mengandung karakter tertentu, baik sebagai kata maupun sebagai bagian kata. Di perpustakaan konvensional penelusuran seperti ini tidak mungkin dilakukan.
3. Untuk menyederhanakan perawatan dan kontrol harian atas koleksi perpustakaan.
4. Untuk mengurangi bahkan menghilangkan tugas-tugas staf tertentu, misalnya menaruh terbitan baru di rak, mengembalikan buku yang selesai dipinjam ke rak, dan lain-lain.
5. Untuk mengurangi penggunaan ruangan yang semakin terbatas dan mahal.

C. Definisi perpustakaan digital
________________________________________

Ada banyak definisi perpustakaan digital berdasarkan pendapat para ahli atau beberapa lembaga. Di atas telah dicantumkan salah satunya yaitu, definisi yang dibuat oleh Digital Library Federation. Berikut beberapa definisi yang dirumuskan oleh lembaga/orang lain.
The Digital Library Initiatives menggambarkan perpustakaan digital sebagai lingkungan yang bersama-sama memberi koleksi, pelayanan, dan manusia untuk menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan, dan pelestarian data, informasi, dan pengetahuan.
William Saffady mendefinisikan perpustakaan digital secara luas sebagai koleksi informasi yang dapat diproses melalui komputer atau repositori untuk informasi-informasi semacam itu.
John Millard mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang berbeda dari sistem penelusuran informasi karena memiliki lebih banyak jenis media, menyediakan pelayanan dan fungsi tambahan, termasuk tahap lain dalam siklus informasi, dari pembuatan hingga penggunaan. Perpustakaan digital bisa dianggap sebagai institusi informasi dalam bentuk baru atau sebagai perluasan dari pelayanan perpustakaan yang sudah ada.
T.B. Rajashekar mendefinisikannya sebagai koleksi informasi yang dikelola, yang memiliki pelayanan terkait, yang informasinya disimpan dalam format digital dan dapat diakses melalui jaringan.
James Billington, pustakawan Library of Congress, dalam Rogers (1994), melukiskan perpustakaan digital sebagai sebuah koalisi dari institusi-institusi yang mengumpulkan koleksi-koleksinya yang khas secara elektronik.
Drobnik dan Monch (dalam Nugroho, 2000) mendefinisikan perpustakaan digital sebagai sekumpulan dokumen elektronik yang diorganisasikan agar mudah ditemukan ulang dan dibaca.

Association of Research Libraries (ARL), 1995, mendefinisikan perpustakaan digital sebagai berikut:
1. Perpustakaan digital bukanlah kesatuan tunggal.
2. Perpustakaan digital memerlukan teknologi untuk dapat menghubungkan ke berbagai sumberdaya.
3. Hubungan antara berbagai perpustakaan digital dan layanan informasi bagi pemakai bersifat transparan.
4. Akses universal terhadap perpustakaan digital dan layanan informasi merupakan suatu tujuan.
5. Koleksi-koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada wakil dokumen; koleksi meluas sampai artefak digital yang tidak dapat diwakili atau didistribusikan dalam format tercetak.
Komariah Kartasasmita mendefinisikan perpustakaan digital sebagai sebuah sistem yang memiliki berbagai layanan dan obyek informasi yang mendukung pemakai yang membutuhkan obyek informasi tersebut melalui perangkat digital atau elektronik.
Romi Satria Wahono mendefinisikan perpustakaan digital sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Menurutnya, istilah perpustakaan digital memiliki pengertian yang sama dengan perpustakaan elektronik (electronic library) dan perpustakaan maya (virtual library)
Sedangkan Perez dan Enrech berpendapat bahwa definisi yang tepat dari perpustakaan maya (virtual library) diadaptasi dari visi sebagai berikut: akses jarak jauh dari titik manapun di dunia ini menuju isi perpustakaan dan segala jenis informasi, dengan menggunakan komputer.

Dari definisi-definisi di atas dapat diambil sintesa bahwa perpustakaan digital adalah organisasi atau lingkungan yang mengelola koleksi informasi berupa tulisan, gambar, dan suara dalam bentuk elektronik dan memberikan pelayanan kepada pengguna melalui jaringan internet.

D. Tujuan Perpustakaan Digital
________________________________________

Sebagaimana yang diharapkan pada gagasan awal, perpustakaan digital bertujuan untuk membuka akses seluas-luasnya terhadap informasi yang sudah dipublikasikan. Tujuan perpustakaan digital menurut Association of Research Libraries (ARL), 1995, adalah sebagai berikut:
• Untuk melancarkan pengembangan yang sistematis tentang cara mengumpulkan, menyimpan, dan mengorganisasi informasi dan pengetahuan dalam format digital.
• Untuk mengembangkan pengiriman informasi yang hemat dan efisien di semua sektor.
• Untuk mendorong upaya kerjasama yang sangat mempengaruhi investasi pada sumber-sumber penelitian dan jaringan komunikasi.
• Untuk memperkuat komunikasi dan kerjasama dalam penelitian, perdagangan, pemerintah, dan lingkungan pendidikan.
• Untuk mengadakan peran kepemimpinan internasional pada generasi berikutnya dan penyebaran pengetahuan ke dalam wilayah strategis yang penting.
• Untuk memperbesar kesempatan belajar sepanjang hayat.

E. Peran Perpustakaan Digital
________________________________________
Ismail Fahmi menjelaskan bahwa perpustakaan digital berperan sebagai penyedia informasi, penyedia layanan informasi, atau pengguna informasi dengan memanfaatkan jaringan dan teknologi digital. Namun bagaimana koleksi digital itu dimanfaatkan, sangat tergantung dari bagaimana informasi tersebut dibuat, diorganisasikan, dan disajikan.
Selain itu perpustakaan digital bukan hanya berkenaan dengan manajemen pengetahuan (knowledge management) dan informasi. Arlinah Raharjo menjelaskan bahwa perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi mulai diharapkan untuk menjalankan peranan yang lebih sebagai pendamping dalam proses pendidikan seumur hidup. Tantangan bagi pustakawan adalah untuk memahami dan menentukan posisinya dalam proses perubahan dan beralih dari pemikiran perpustakaan sebagai ruang fisik semata ke suatu kenyataan baru perpustakaan sebagai organisasi yang harus mengembangkan jenis layanan informasi digital.




F. Masalah dan Isu-Isu mengenai Perpustakaan Digital
________________________________________

Pengembangan perpustakaan digital bukan tidak mengalami hambatan. Ada beberapa hal yang menjadi bahan perhatian, yaitu:
1. Kemampuan dan penentuan biaya. Seperti halnya dengan inovasi lain yang membutuhkan suatu investasi, begitu pun perpustakaan digital. Apalagi infrastruktur komputer masih membutuhkan biaya yang besar.
2. Masalah hak cipta yang terbagi dua: hak cipta pada dokumen yang didigitalkan dan hak cipta pada dokumen di communication network. Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat jaringan komputer belum didefinisikan dengan jelas.
3. Masalah mendigitalkan dokumen. Yaitu bagaimana mendigitalkan dokumen dan jenis penyimpanan digital dokumen, baik berupa full text maupun page image.
4. Masalah penarikan biaya. Hal ini menjadi masalah terutama untuk perpustakaan digital swasta yang menarik biaya atas setiap dokumen yang diakses. Penelitian di bidang ini banyak mengarah ke pembuatan sistem deteksi pengaksesan dokumen atau pun upaya mewujudkan electronic money.